A. Latar
Belakang
Berbeda
dengan tokoh-tokoh Sufi lain semasanya, Rumi telah mengambil bentuk sufisme
tersendiri. Rumi ini menerangkan kepada murid-muridnya tentang pemikiran
sufisme sesuai dengan pengalaman spiritualnya sendiri. Ia tidak menjelaskan
tentang maqamat-maqamat. Sehingga pemikiran Rumi banyak tertuang dalam sajak,
syair dan prosa.
Bagi
seseorang yang ingin memahami pribadi Rumi dan perjalanan spiritualnya dalam
menapaki Sufi, terlebih dahulu orang tersebut harus memahami syair-syair Rumi.
Karena di dalam syair-syairnya tersebut tersurat pemikiran dan ajaran Rumi yang
sesungguhnya.
Selain
mistikus cinta, Rumi juga merupakan pendiri sebuah tarekat yang disebut dengan
tarekat maulawiyah. Dalam tarekatnya tersebut, rumi mengajarkan berbagai ilmu
tentang bagaimana caranya untuk menapaki jalan Sufi.
B. Biografi
Jalaluddin Ar-Rumi
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh
sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan
bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian
mencatat, ramalan Faridddun Attar itu tidak meleset.
Nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad bin Muhammad
al-Balkhi al-Qunuwi. Dia dilahirkan di Balkh pada tahun 604 H/1217 M. dan
meninggal pada tahun 672 H/ 1273 M. di Qunyah. Pada waktu dia berusia empat
tahun (ada yang mengatakan usia lima tahun) dia dibawa ayahnya ke Asia Kecil,
yang dulu dikenal dengan negeri Rum; dan itulah sebabnya, namanya dinisbahkan
dengan ar-Rumi.[1]
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah
seorang ulama besar bermazhab hanafi. Dan karena charisma dan tingginya
penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sultanul Ulama. Ayah Rumi adalah seorang
pengarang Ma’arif (Ilmu Ketuhanan), sebuah ikhtisar panjang tentang
ajaran-ajaran Rohani yang sangat dikuasai Rumi, kelak corak dan isinya tampak
jelas mempengaruhi karyanya. Rumi ditinggal wafat ayahnya pada usia 24 tahun.
Ayahnya meninggal di Konya, Turki. Pada usia 24 tahun, Rumi sudah diminta untuk
menggantikan tugas-tugas ayahnya sebagai dai sekaligus ahli hokum Islam. Setelah
ayahnya wafat, Rumi berguru kepada Burhanuddin Muhaqqia at-Turmudzi dan ia juga
menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Dan kembali ke Konya pada
tahun 634 H.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia
sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Kemudian, kedatangan Syamsuddin At-Tirbidzi
dari Konya, membawa pengaruh begitu besar terhadap Rumi, bahkan juga terhadap
satra Persia keseluruhan. Al-Tirbidzi lah yang menyebabkan Rumi berubah dari
seorang ahli hukum yang tenang menjadi seorang pecinta yang mabuk.[2]
Rumi adalah guru nomor satu thariqat Maulawiyah,
sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya.
Tariqat maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki
Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun 1648. Salah satu ciri khas Rumi
adalah tarian berputar yang mulai terbentuk Tarekat Mawlawi atau Tarekat Darwis
berputar. Nama lain dari tarian berputar tersebut adalah Sama’. Konon,
tarian ini melambangkan gerakan berputar jiwa, yang terjadi karena kecintaan
sang Sufi dan perhatiannya ynag penuh kepada Allah. Sesungguhnya, sama’ dikalangan
kaum Darwis Mawlawi, menurut Annemarie Schimmemel, adalah “ungkapan berbagai
rahasia cinta mistis termatis dan terdalam. Kaum darwis, sesudah berjalan
pelan-pelan mengelilingi ruangan tiga kali dan setiap kali mencium tangan
syekh, kemudian menanggalkan jubbah hitam mereka (seolah-olah tubuh jasmani
mereka) dan muncul dalam pakain putih cahaya keabadian mereka, sambil berputar
mengelilingi sumbu dan pusatnya, bagaikan atom-atom menari mengelilingi
matahari yang menariknya untuk bergerak- tarian surgawi, tarian keabadian,
sebagaimana digambarkan Mawlana (Rumi) dalam sedemikian banyak bait syair dan
puisinya.”[3]
Bagi Rumi,
tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan indera.
Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah
penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa
menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya.
Bukankah anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi
di dalamnya?” tegas Rumi.[4]
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya.
Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan,
karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita sakit
keras. Meskipun demikan, pikiran Rumimasih menampakkan kejernihannya. Seorang
sahabtnya datang menjenguk dan mendoakan, “Semoga Allah berkenan memberi
ketenangan kepadamu dengan kesembuahn.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau
beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada
juga yang kafir dan pahit.” Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember
1273 dalam usia 68 tahun Rumi di panggil ke Rahmatullah.[5]
Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan
ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul
Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih
memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.
C. Karya-karya
Ar-Rumi
Karya-karya Rumi mampu menyajikan gambaran
kaleidoskopis tentang Tuhan, manusia, dan alam serta keterkaitan antara
ketiganya meskipun memiliki kompleksitas persoalan masing-masing, dalam
gambaran Rumi ketiga realitas tersebut merupakan kesatuan harmonis yang
tereduksi dalam satu ungkapan yang menyatakan realitas tunggal, “Tiada Tuhan
Selain Allah”.
Rumi tidak pernah berusaha menulis sebuah buku
ataupun memberikan penjelasan-penjelasan secara rinci mengenai ajaran-ajarannya.
Tidak seperti tokoh Sufi lainnya. Rumi tidak pernah melukiskan maupun
menjelaskan tiap-tiap tahapan serta maqam-maqam yang dilampaui oleh para Sufi
dalam pendakian mereka dalam menuju Tuhan. Namun, Rumi senantiasa menjawab
setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya berkaitan dengan persoalan tersebut,
melalui suatu cara yang secara jelas menunjuk pengalaman-penglaman pribadinya
sendiri.
Keadaan Rumi berubah ketika ia berjumpa dengan
seorang tokoh spiritual luar biasa, Syamsuddin Tabrizi. Rumi berjumpa dengan
Syams ketika berusia 38 tahun. Sekiranya Rumi tidak pernah berjumpa dengan
Syams, Ia mungkin sama sekali tidak pernah mengubah puisi dan syair, dan Rumi
yang kita kenal dewasa ini tidak akan pernah ada. Sebagaimana kata Willam Chittick,
pengaruh Syams “Melahirkan berbagai keadaan kontemplatif batiniah Rumi dalam
bentuk puisi dan menggerakkan samudera wujudnya yang menghasilkan gelombang
besar yang mengubah sejarah kususastraan Persia”.[6]
Rumi
melihat dalam diri Syams api cinta yang membakar. Rumi, yang menganggap dirinya
seorang syekh yang menguasai segenap ilmu pengetahuan, pun berguru kepada
Syams. Ia tinggalkan segala miliknya demi kecintaan pada Kekasih Abadi, yang
kini mengejawantahkan dalam sosok Syams.
Rumi
mengungkapkan gagasan tasawufnya dalam puisi, prosa puisi, khotbah dan dialog.
Karya tasawufnya sangat melimpah dan yang masyhur ialah Diwan-I Shamsi
Tabriz (sajak-sajak pujian kepada Syams Tabriz), Matsnaw-I Ma’nawi
(prosa lirik tentang makna-makna), Ruba’iyat (kumpulan sajak empat
baris), Fihi Ma Fihi (di dalam ada seperti yang di dalam), Makatib
(kumpulan surat-surat Rumi kepada para sahabatnya) dan Majalis-I Sab’ah
(himpunan khotbah Rumi di masjid-masjid dan halaqah keagamaan).[7]
Salah
satu karya, Diwan Syamsi Tabriz, merupakan memorial untuk gurunya
tersebut. Karya terkenal Jalaluddin Ar-Rumi lainnya, al-masnawi, sangat besar
pengaruhnya sehingga terjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa; dan juga
mendapat komentar, baik dalam bahasa Persia, Turki maupun Arab. Buku al-Masnawi
terdiri atas enam jilid dan berisi 20.700 bait syair.
Kumpulan puisi Rumi yang terkenal al-Matsnawi
al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu kalam yang kehilangan
semangat dan kekuatannya.[8]
Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui
batas, mengebiri perasaan, dan mengkultuskan rasio.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah:
Jangan tanya
apa agamaku. Aku bukan Yahudi. Bukan Zoroaster. Bukan pula Islam. Karena aku
tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada
makna yang hidup di hatiku.[9]
Satu-satunya karya
Rumi lainnya yang berbentuk puisi adalah Divan-I Syams-I Tabriz (Diwan
Syams Tabriz), yang berisi 35.000 bait syair. Karya ini ditulis selama kurang
lebih tiga puluh tahun, sejak hilangnya Syams hingga wafatnya Rumi. Karya ini
berbentuk ghazal-ghazal yang ditulis Rumi sesudah ia terpisah dari
Syams. Dibandingkan dengan Matsnawi, sebuah karya biasa dan tidak
menunjukkan adanya kemabukan, Divan mengisyaratkan dengan sangat jelas
adanya kemabukan dalam keadaan mistis.[10]
Tampak jelas bahwa sebagian besar puisi itu digubah sesudah Rumi mengalami ekstase
sama’ sambil berputar atau selama meditasi. Puisi-puisi itu
mengungkapkan sebagian rahasia pengalaman sufi. Suatu contoh fenomenal dari
metode pencerai-beraian, dimana sebuah gambar disusun dengan multi-dampak untuk
memasukkan pesan ke dalam pikiran sufi. Pesan ini, Rumi maupun semua guru sufi
lainnya, secara parsial disusun sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja.
Ia menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya.
Menurut riwayat hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang
diajarinya.
Salah satu
karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa, sekalipun tentu
ia akan memberikan pertanyaan tegas yang paling popular – bahwa orang biasa,
apapun pencapain formalnya, tidak dewasa dalam mistisisme – ia juga memberikan
kesempatan bagi hampir semua orang untuk mencapai kemajuan menuju penyempurnaan
nasib manusia.[11]
Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta, bukan dengan pelatihan melalui
cara-cara terorganisir.
Jalaludin ar-Rumi dipandang sebagai sufi yang
menganut aliran kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Sebagaimana sufi-sufi
sebelumnya yang sealiran, pahamnya ini didasari teori fana’ (sirna).
Ajaran-ajaran Rumi selalu mengacu pa Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan ajaran-ajaran
kaum sufi terdahulu. Pesan-pesan Rumi bersifat universal, dan dia sangat
liberal dalam menggunakan tamsilan-tamsilan yang diambil dari sumber-sumber
yang tidak asing bagi setiap orang. Tema universal yang terkandung dalam
karya-karyanya, membuat Rumi mendapat temapt khusus di hati masyarakat dunia.
Tidak hanya bagi pemeluk Islam, tetapi juga pemeluk agama Nasrani, Yahudi dan
Zoroaster. Menurutnya, semua insan di dunia dipandang adil dan sama.
D. Manifestasi
Cinta
F.C. Happold (1960) memasukkan Rumi sebagai tokoh
terkemuka mitisisme cinta dan persatuan mistik. Mistisme jenis ini berusaha
membebaskan diri dari rasa terpisah dan kesebatangkaraan diri, melalui jalan
persaruan dengan alam dan Tuhan, yang membawa rasa damai dan memberi kepuasan
pada jiwa. Merasa sepi, mistikus cinta berusaha meninggalkan diri khayali atau
ego rendah (nafs) dan pergi menuju Diri yang lebih agung, Diri sejati
dan Hakiki. Menurut pandangan mistikus cinta, manusia adalah makhluk yang
paling mampu menyadari individualitasnya. Tujuan mistisisme cinta ialah
melakukan perjalanan rohani menuju Diri hakiki dan kebakaan, dimana ‘Yang Satu’
bersemayam. Rumi berpendapat bahwa seorang yang ingin memahami kehidupan dan
asal-usul ketuhanan dari dirinya ia dapat melakukan melalui jalan cinta, tidak
semata-mata melalui jalan pengetahuan. Cintalah sayap yang membuatnya dapat
terbang tinggi menuju “Yang Satu”.[12]
Cinta sejati, menurut Rumi, dapat membawa seseorang mengenal alam hakikat yang
tersembunyi dalam bentuk-bentuk lahiriah kehidupan. Karena cinta dapat membawa
kita menuju kebenaran tertinggi, Rumi berpendapat cintalah sebenarnya yang
merupakan sarana terpenting dalam menstransendensikan dirinya.
Dalam salah satu syairnya sebagai berikut:
“Bagaimana keadaan sang pecinta?”
Tanya
seorang laki-laki.
Kujawab, “Jangan bertanya seperti itu, sobat:
Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu;
Ketika Dia memanggilmu,
Engkau
pun akan memanggil-Nya!” (D 2733)[13]
Bagaimana menerangkan cinta? Akal berusaha
menjelaskannya adalah seperti keledai di dalam paya. Dan pena yang berusaha
menggambarkannya akan hancur berkeping-keping. Cinta itu pra-abadi, Cinta itu
magnet; sejurus lamanya Cinta benar-benar menyirnakan jiwa, kemudian ia pun
menjadi perangkap yang menjerat burung-burung jiwa, yang kepada burung-jiwa
inilah Cinta menawarkan minun anggur realitas, dan semua ini “hanyalah
permulaan Cinta-tidak ada manusia yang dapat mencapai ujungnya!” Rumi sering
berbincang-bincang dengan Cinta untuk mencari tahu bagaimana rupa Cinta itu.
Salah satu syair pujian di mana Maulana mencoba menemukan apa Cinta itu, di
mulai dengan pernyataan
Duhai Cinta, siapa yang bentuknya lebih indah,
Engkau
atau tanaman dan kebun apelmu? (D 2138)[14]
Dan syair itu dilanjutkan dalam
irama menari-nari, menuturkan tindakan-tindakan Cinta yang luar biasa, yang
mendorong setiap atom dan pepohonan menari-nari, dan mengubah segalanya:
Lewat Cintalah semua yang pahit akan
jadi manis,
Lewat Cintalah semua tembaga akan
jadi emas.
Lewat Cintalah semua endapan akan
jadi anggur murni;
Lewat Cintalah semua kesedihan akan
jadi obat.
Lewat Cintalah si mati akan jadi
hidup,
Lewat Cintalah raja jadi budak! (M
II 1529f)[15]
Tanpa Cinta, dalam kehidupan tidak akan ada
kebahagiaan karena “kehidupan akan menjadi hambar tanpa garam yang tiada
batasnya itu”. Di dalam Diwan Syams Tabriz, sebagaimana tergambar dalam
puisinya sebagai berikut:
Dalam suatu bentuk muncul keindahan sekejap
Ia pun lekat dalam kalbu dan terus lenyap
Dalam paket baru ‘sahabat’ itu muncul ditiap jiwa
Terkadang tua renta dan terkadang muda belia
Itulah ruh yang menyelam keberbagai makna
Ke jantung tanah liat ia mengaram
Lihatlah! Ia ke luar dari kebebasan tanah dalam
Dalam wujud ia ada
Terkadang muncul dalam bentuk Nuh maupun dunia
Bahkan karam lewat doanya
Sementara ia selamat lewat kepalanya
Terkadang muncul dalam bentuk Ibrahim, dalam api
nyala
Jadi air demi dirinya
Lalu ia pun hadapkan wajahnya ke bumi beberapa lama
Agar yang dilihatnya dinikmati pemirsanya.[16]
Dari
liriknya di atas, tampak jelas bahwa Jalaluddin ar-Rumi adalah seorang penyair
yang begitu diliputi perasaan cinta, yang menghantarkannya kepada ke-fana’-an
(kesirnaan) ataupun menyaksikan kesatuan. Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi,
merupakan cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal;
jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada
yang ditakdirkan fana’. Sesungguhnya cinta itu mengalir dalam diri orang
yang dilaluinya, seperti darah, jika cinta diletakkan pada tempatnya yang
sesuai, ia laksana matahari yang tidak kunjung tenggelam; atau bagaikan bunga
indah yang tak kunjung layu. Oleh karena itu carilah cinta suci yang abadi,
cinta yang akan memusnahkan segala sesuatu, yang mampu menyegarkan rasa
dahagamu.
Rumi menggunakan ungkapan Arab dan
Persia, kadang-kadang juga menggunakan ungkapan Turki dan Yunani, untuk
mengungkapkan perasaannya. Dia pun tahu bahwa keindahan Cinta tidak dapat
diungkapkan dengan cara apa pun, “Meskipun aku memujinya dengan seratus lidah”.
Sebab, dia tahu, seperti Tuhan, Cinta itu nyata dan sekaligus yang gaib.
Pecinta dapat “berkelana dalam Cinta” dan semakin jauh pecinta melangkah,
semakin besar kebahagiaan yang diperolehnya karena Cinta itu tak terbatas,
Ilahiah, dan lebih besar disbanding seribu kebangkitan: kebangkitan itu
merupakan suatu batas, sedangkan Cinta tak terbatas.seperti dikatakan kaum sufi
dan filosof, Cinta itu adalah alasan setiap gerakan di dunia ini.
Menapaki jalan sufi berarti harus
menaati semua perintah dan larangan Tuhan. Manakala seseorang telah memasuki thariqat,
ia akan mengalami transformasi batin yang membawanya pada penyempurnaan rohani,
melalui pendakian. Dia akan mendaki tebing-tebing curam, menanjak menuju
langit, bahkan ke seberang langit. Pendakian Thariqah akan mengubah
tembaga menjadi emas murni, bahkan mutiara. Untuk sampai pada tingkat hakikat
(“pencapaian jalan Tuhan”) tidaklah mudah. Ketiga dimensi ajaran sufi (syariat,
thariqah, dan hakikat) harus diintegrasikan ke dalam pengalaman rohani dari
perjalanan yang sedang ditempuh oleh sufi.[17]
Semua itu sangat terkait dengan akhlak yang dimiliki sufi. Sebagian besar
syairnya dalam Diwan menyiratkan semua itu, yang dapat dipandang sebagai
pengungkapan keadaan serta pengalaman-pengalaman spiritual yang khas.
Pandangan sufi bahwa cinta merupakan
rahasia ketuhanan dan hakikat ketuhanan ialah perbendaharaan tersembunyi. Rumi
menafsirkan perbendaharaan tersembunyi sebagai perbendaharaan hikmah-Nya yang
abadi, yang ingin dipandang, direnungi, dipikirkan dan dikenal.[18]
Pecinta ingin dikenal cintanya, perindu ingin diketahui rindunya, pencari ingin
dikenal bahwa ia mencari; sedang Tuhan dan perbendaharaan dari cinta dan hikmah
pada mereka yang mau menerima petunjuk-Nya. Melalui pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai para sufi melalui jalan cinta ialah
mengenal Tuhan sebagai Wujud Hakiki yang meliputi semua wujud. Inilah yang
disebut ma’rifah. Akan tetapi, mengenal saja tidak cukup. Yang lebih
penting lagi adalah merasakan kehadiran-Nya dalam segala sesuatu, dalam segenap
peristiwa, dalam kehidupan pribadi, dengan maksud dapat merealisasikan
persatuan dengan-Nya dalam semua aspek kehidupan.
Mengenai keadaan jiwa seorang yang
sedang menempuh jalan cinta, Rumi mengatakan dalam Divan-I Syamsi Tabrizi, kurang
lebih sebagai berikut:
“Kali ini seluruh diriku telah
diselubungi cinta
Kali ini seluruh diriku bebas dari
kepentingan dunia
Setiap berhala dari empat anasir
tubuh telah kululuhkan
Sekali lagi aku telah menjadi
muslim, sabuk kekafiran kulepaskan
Sesaat aku berputar mengedari Sembilan angkasa raya
Kukitari planet dan bintang-bintang mengikuti
sumbunya
Sesaat aku gaib di suatu tempat rahasia aku berada
bersama-Nya
Aku dekat ke kampung halamnnya, kusaksikan segala
yang harus disaksikan.”[19]
Rumi menyatakan bahwa yang ia saksikan ialah keadaan
sebelum hari penciptaan berlangsung, yaitu ketika “Yang Satu” sebagai Dzat
Mutlak belum menyatakan diri dan jiwa manusia masih bersatu dengan-Nya, yaitu
ketika masih berada di dalam perbendaharaan yang tersembunyi. Jadi, tempat
rahasia itu, bahwa jiwa manusia dapat menyaksikan “Yang Satu” sebagai Wujud
Hakiki dan rahasia penciptaan ialah di lubuk hati kita yang paling dalam. Rumi
sependapat dengan Abu Yazid Al-Busthami, yang mengatakan bahwa apabila jiwa
seorang sufi dirasuki cinta atau antusiasme Ketuhanan, hanya “Yang Satu” yang
akan menjadi tumpuan perhatiannya. Selain-Nya akan lenyap dari penglihatan
hatinya dan jiwanya tak akan membiarkan yang lain menapakkan jejak dalam
kesadarannya. Dengan demikian, cinta ilahi juga berkaitan dengan kegairahan
mistik, baik berupa wajd (ekstase mistik), dzawq (kemabukan
mistik), dan junun (kepayang).
E. Kesimpulan
Jalaluddin Rumi nama lengkapnya adalah Jalaluddin
Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Dia dilahirkan di Balkh pada tahun
604 H/1217 M. dan meninggal pada tahun 672 H/ 1273 M. di Qunyah. Jalaluddin ini
terkenal dengan nama Rumi karena ia tinggal di kota yang bernama Rum. Sehingga
banyak orang yang mengenalnya dengan nama Rumi.
Karya-karya Rumi tentang tasawuf yang paling
termasyhur adalah Diwan-I Syam At-Tabrizi dan al-Matsnawi. Dua karya ini
sangatlah fenomenal. Namun, selain dua karya tersebut masih banyak karya Rumi
yang tertuang dalam puisi, prosa dan sajak.
Rumi merupakan salah satu tokoh sufi yang terkenal
dengan konsep cintanya kepada Tuhan. Di dalam kitabnya al-matsnawi ini
merupakan gambaran keadaan yang tidak menunjukkan adanya kemabukkan kepada
Tuhan. Namun, dalam kitabnya Diwan ini mengisyaratkan dengan sangat jelas
adanya kemabukan dalam keadaan mistis. Karena dalam Diwan menceritakan kondisi
Rumi yang ditinggal oleh Syam At-Tabrizi. Sehingga beliau menciptakan kitan
Diwan ini.
Manifestasi cinta Rumi kepada Allah itu salah satunya
ditunjukkan dalam sebuah prosa, puisi dan sajak. Tidak hanyya itu,
manifestasinya yaitu dengan melakukan tarian darwis atau sering disebut dengan Sama’.
Dalam karyanya itu Rumi banyak mengungkap tentang pengalaman spiritualnya
dalam menapaki jalan menuju Sang Kekasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Isa, Haji Ahmad. Tokoh-Tokoh Sufi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001.
Solihin, M. Tokoh-Tokog Sufi Lintas Zaman. Bandung:
Pustaka Setia, 2003.
Bayat, Mojdeh. Negeri Sufi. Terj. M.S.
Nasrulloh (Jakarta: Lentera Basritama, 1999.
Nasution, Haji Ahmad
Bangun. Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya. Jakarta:
RajaWali Press, 2013.
Rifa’i, Bachrun. Filsafat Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia, 2010.
http://wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm, diakses tanggal 20 Mare 2015.
Shah, Idries. Mahkota
Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi. Terj. M. Hidayatullah dan Roudlon (Surabaya:
Risalah Gusti, 2000.
Schimmel, Annemarie. Akulah Angin, Engkaulah Api:
Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi. Terj. Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas Hasan
(Bandung: MIzan Pustaka, 2008.
[1]
Haji Ahmad Isa, Tokoh-tokoh Sufi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001),
227.
[2]
M. Solihin, Tokoh-Tokog Sufi Lintas Zaman (Bandung: Pustaka Setia,
2003), 164-165.
[3]
Mojdeh Bayat, Negeri Sufi, Terj. M.S. Nasrulloh (Jakarta: Lentera
Basritama, 1999), 151-152.
[4]
Haji Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan
Pengaplikasiannya (Jakarta: RajaWali Press, 2013), 148-149.
[5]
Ibid., 153.
[6]
Bayat, Negeri Sufi., 142.
[7]
Bachrun Rifa’i, Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 106.
[8]
Nasution, Akhlak Tasawuf., 248.
[9]
http://wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm, diakses tanggal 20 Maret 2015.
[10]
Bayat, Negeri Sufi., 154.
[11]
Idries Shah, Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi, terj. M.
Hidayatullah dan Roudlon (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 157.
[12]
Rifa’i, Filsafat Tasawuf., 107.
[13]
Annemarie Schimmel, Akulah Angin, Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin
Rumi, terj. Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas Hasan (Bandung: MIzan Pustaka,
2008), 237.
[14]
Ibid., 239.
[15]
Ibid., 240.
[16]
Isa, Tokoh-Tokoh Sufi., 229-230.
[17]
Solihin, Tokoh-Tokog Sufi., 168.
[18]
Rifa’i, Filsafat Tasawuf., 108.
[19]
Rifa’i, Filsafat Tasawuf., 109.
0 komentar:
Posting Komentar