A.
Pengertian
Tawakal
Kata tawakal berasal dari bahasa
Arab At-Tawakkul yang dibentuk dari kata wakkala, yang secara
kebahasaan berarti menyerahkan, mempercayakan, atau mewakili urusan kepada
orang lain.[1]
Menurut istilah, tawakal adalah menyerahkan segala perkara, ikhtiar dan usaha
yang dilakukan kepada Allah, serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya untuk
mendapatkan manfaat atau menolak madharat.[2]
Menurut Al-Harawi dalam Manazilu
An-Sa’iri, tawakal merupakan tingkatan spiritualitas yang sulit dicapai
oleh orang awam, tapi mudah diraih oleh insan pilihan. Tawakal adalah
meyerahkan urusan kepada yang berkuasa menanganinya dengan kepercayaan yang
utuh, maksudnya ialah menyerahkan seluruh perkara kepada Allah, bersandar
kepada kekuasaan-Nya dalam mengatur siklus alam semesta,mendahulukan
perbuatan-Nya ketimbang perbuatan kita, dan mengutamakan kehendak-Nya di atas
kehendak kita.[3]
Tawakal juga berarti penyandaran
hati kepada Allah dengan mempercayai-Nya sepenuhnya, serta kasadaran hati untuk
melarikan diri dari pengawasan kekuatan dan sumber manapun.[4] Tawakal adalah titik
permulaan dari berbagai hal yang khusus berhubungan dengan perintah atau
perjalanan ruhani, dengan menyandarkan diri kepada Allah dan bersikap penuh
(tsiqoh) kepada-Nya, kemudian dilanjutkan dengan menetapkan hati dalam kawasan
keberlepasan diri dari segala bentuk kekuatan dan daya manusia.
Menyerahkan urusan terbagi mejadi
dua macam, yaitu pasrah dan tawakal. Penyerahan urusan pun bisa dilihat dari
dua sisi. Pertama, Allah Swt memasrahi manusia untuk memelihara apa yang
diserahkan kepada mereka. Kedua, manusia mengangkat Allah Swt sebagai wakil dan
bersandar kepadaya.
Tawakal sejatinya
adalah tingkatan spiritual yang memiliki keterkaitan dengan Asmaul Husna. Lebih
khusus lagi tawakal berkaitan dengan Asma Al- Af’al (Nama-nama Allah
yang berkaitan dengan perbuatan-Nya) dan Asma Shifat (Nama-nama Allah
yang berkaitan dengan sifat-Nya).
Tawakal berkaitan dengan
Al-Ghafaru (Maha Pengampun), Al-Tawabu (Maha Menerima Taubat), Al-Affuwun
(Maha Pemaaf), Ar-Ra’ufu (Maha Belah Kasih),
dan Al-Rahimu (Maha Penyayang). Tawakal juga berkaitan dengan nama
Al-Fattahu (Maha Pembuka Rahmat), Al-Wahhabu (Maha Pemberi), Ar-Razaqu (Maha
Pemberi Rizqi), Al-Mu’ti (Maha Memberi), Al-Muhsinu (Maha Baik), Dan Juga
Berkaitan Dengan Nama Al-Mu’izzu ( Maha Memuliakan), Al-Mudzilu (Maha
Merendahkan), Al-Hafizu (Maha Menjaga), Al-Rafiu (Maha Tinggi).
Karena keterkaitan ini, ada ulama
yang memaknai tawakal sebagai pengetahuan tentang Allah Swt, artinya,semakin
dalam pengetahuan seseorang tentang Allah Swt, maka semakin kuat tawakalnya.
Dalam kitab Ihyaul ulumuddin Imam Ghazali menerangkan bahwa:
“ ketahuilah bahwa ilmu itu
menimbulkan keadaan, dan keadaan membuahkan kerja. Sesungguhnya ada orang yang
mengira bahwa pengertian tawakal itu ialah meninggalkan usaha (tenaga) dengan
badan dan meninggalkan perhatian dengan pikiran, jatuh ketanah bagai perca yang
dilemparkan atau bagai daging di atas tempat pencencangan,menyerah
semata-mata.”[5]
Ini adalah dugaan orang yang bodoh
dan jahil, Karena hal yang seerti itu terlarang menurut syara’
(agama)disebabkan agama mewajibkan orang yang bertawakal itu seberapa bisa
mencapai suatu kedudukan yang wajar menurut agama, dengan meninggalkan larangan
dan menjalankan perintah agama.
“sesungguhnya pengaruh tawakal itu
terbukti dalam gerak gerik seseorang,berusaha keras dengan segala kemampuan dan
pengetahhuannya, supaya tujuannya tercapai. Usaha seseorang dengan ikhtiah dan
kemampuannya, adakalanya untuk mendapatkan manfaat yang telah dipunyainya.
Menoleh bahaya yang mungkin dating menimpanya,seperti perampok,pencuri dan
binatang buas atau untuk menghilangkan bahaya yang dideritanya,seumpama
penyakit dan sebagainya. Maka gerak gerik seseorang selalumengikuti apayang disebut
tadi,yaitu menarik manfaat atau memeliharanya,menolah bahaya atau
menghilangkannya.[6]
Simbol-simbol bagi tawakal ada tiga,
yaitu : menyingkirkan sifat ketergantungan, menghilangkan bujukan yang
berkaitan dengan tabiat, dan berpedoman pada kebenaran dalam mengikuti tabiat.[7]
B.
Macam-macam
Tawakal
Separuh agama
adalah tawakal,separuhnya lagi kepasrahan. Tawakal adalah permintaan tolong,
sedangan kepasrahan adalah ibadah. Ada empat golongan orang bertawakal:
1.
Orang
yang bertawakal dalam mengukuhkan iman, menegakkan ajaran agama Allah Swt,
meninggikan kalimat-Nya, memerangi musush-musuh-Nya,mencintai-Nya, serta
melaksanakan perintah-Nya. Mereka adalah para wali Allah dan insan pilihan
2.
Orang
yang bertawakal agar bisa beristiqomah,terpelihara hubungan baiknya dengan
Allah dan tidak bergantung kepada manusia.
3.
Orang
yang bertawakal untuk mendapatkan kebutuhannya, seperti rezeki, kesehatan,
pertolongan menghadapi musuh, memperoleh jodoh, anak dan sebagainya.
4.
Orang
yang bertawakal dalam mewujudkan perbuatan dosa dan tindak kejahatan.
Golongan
keempat ini tidak akan mampu mewujudkan kebejatan mereka tanpa seizin Allah Swt dan tawakal mereka
kepada-Nya.[8]
C.
Delapan
Fondasi Tawakal
Tawakal pada
dasarnya terbangun di atas beragam fondasi yang hanya sempurna jika semua
fondasi tersebut tersusun rapi dan saling melengkapi.ragam fondasi itu ialah:
1.
Mengetahui
Allah Swt, pengetahuan inilah anak tangga pertama yang harus dipijaki dalam
mendaki tangga tawakal.
2.
Meyakini
adanya hukum sebab-akibat.
3.
Mengukuhkan
hati pada tauhid.
4.
Menyandarkan
hati kepada Allah Swt dan merasa nyaman bergantung kepada-Nya.
5.
Berbaik
sangka kepada Allah Swt.
6.
Menyerahkan
hati kepada Allah Swt secara utuh dan tidak membangkan-Nya
7.
Pasrah.
Inilah ruh dan hakikat tawakal
8.
Ridho
(buah tawakal).
D.
Ayat-Ayat
Tentang Perintah Tawakal
1.
QS.
Ali-Imran [3]:122
إِذْ هَمَّت طَّائِفَتَانِ مِنكُمْ أَن تَفْشَلَا وَٱللَّهُ وَلِيُّهُمَا وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ
“Ketika dua golongan dari pihak kamu ingin (mundur) karena takut,
padahal Allah adalah penolong mereka. Karena itu, hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakal.”[9]
2.
QS.
'Ali `Imran [3] : 159
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ
كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِى ٱلْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”[10]
3.
QS. Ali-Imran [3]:160
إِن يَنصُرْكُمُ ٱللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِن يَخْذُلْكُمْ فَمَن ذَا ٱلَّذِى يَنصُرُكُم مِّن بَعْدِهِۦ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ
“Jika Allah menolong kamu,
maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu, tetapi jika Allah membiarkan kamu
(tidak memberi pertolongan), maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu?
Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.”[11]
4.
QS. An-Nisa'[4]:1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا رَبَّكُمُ
ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَٱتَّقُوا ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَاءَلُونَ
بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Wahai
manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan
dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan
(peliharalah) hubungan kekeluargaan.Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasimu. “[12]
5.
QS. An-Nisa' [4] : 81
وَيَقُولُونَ
طَاعَةٌ فَإِذَا بَرَزُوا مِنْ عِندِكَ بَيَّتَ طَائِفَةٌ مِّنْهُمْ غَيْرَ ٱلَّذِى
تَقُولُ وَٱللَّهُ يَكْتُبُ مَا يُبَيِّتُونَ
فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا
“Dan
mereka (orang-orang munafik) mengatakan: "(Kewajiban kami hanyalah)
taat". Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari
mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah
mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu,
maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah
menjadi Pelindung.”[13]
6. QS.
An-Naml [27] : 79
فَتَوَكَّلْ
عَلَى ٱللَّهِ إِنَّكَ عَلَى ٱلْحَقِّ ٱلْمُبِينِ
“Sebab
itu bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang
nyata”.
7.
QS. Al-Ma'idah[5]:11
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا ٱذْكُرُوا
نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَن يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ
أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ وَٱتَّقُوا ٱللَّهَ وَعَلَى ٱللَّه
فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Ingatlah nikmat Allah (yang diberikan) kepadamu,
ketika suatu kaum bermaksud hendak menyerangmu dengan tangannya, lalu Allah
menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada
Allah-lah hendaknya orang-orang beriman itu bertawakal.”[14]
8.
QS.Ash-Shu`ara'[26]:217
وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱلْعَزِيزِ ٱلرَّحِي
“Dan
bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha perkasa, Maha Penyayang.”[15]
E.
Munasabah / Asbabun Nuzul
QS. Ali Imran
Ayat:122
Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan
perang uhud (Syawal 3 H) Pada perang badar (Ramadhan 2 H) Kaum musyrikin menderita
kekalahan total dan banyak pemimpin mereka yang mati sehingga mereka terpaksa
kembali ke makkah dalam keadaan yang menyedihkan dan sangat memalukan, tetapi
mereka tidak tinggal diam dengan pimpinan Abu Sufyan dan orang-orang terkemuka
dikalangan kaum Quraisy, mereka menyiapkan kekuatan yang lebih besar untuk
membalas kekalahan mereka pada perang badar. Akhirnya mereka dapat mengumpulkan
tiga brigade dan brigade terbesar terdiri dari 3000 orang terbagi atas 700
orang tentara berbaju besi, 200 orang tentara berkuda dan selebihnya tentara
biasa dengan persenjataan yang lengkap. Disamping itu mereka membawa pula
beberapa orang perempuan untuk
membangkitkan semangat bertempur dikalangan mereka, dipimpin Hindun istri Abu
Sufyan sendiri.
Pada mulanya Rasulullah ingin bertahan saja di madinah, tetapi
kebanyakan para sahabat berpendapat bahwa sebaliknya kaum muslimin menghadapi
serangan kaum musyrikin itu diluar kota Akhirnya Rasulullah menerima pendapat
mereka dan keluarlah beliau memimpin 1000 orang tentara untu menghadapi lebih
dari 3000 tentara kaum musyrikin yang berkobar-kobar semangatnya.di tengah
jalan atas hasutan Abdullah bin Ubay bin Salul, 300 orang tidak ikut berperang
dan kembali ke Madinah sehingga mereka yang tinggal hanya 700 orang, di antara
100 orang berbaju besi dan 2 orang berkuda.
Rasulullah memilih tempat dikaki bukit Uhud dan menyiapkan 50 orang
pemanah di atas bukit itu serta memerintahkan agar mereka jangan meninnggalkan
tempat walau dalam keadaan bagaimanapun. Kewajiban mereka memanah pasukan kuda
musuh yang hendak maju menyerang Karena kuda tidak tahan terhadap tusukan
panah. Demikianlah tentara yang hanya nerjumlah 700 orang itu Rasulullah
ditempatkan pada tempat-tempat yang strategis untuk menghadapi musuh yang jauh
lebih besar dengan persenjataan lengkap.[16]
QS. Ali Imran
:159
Sebab – sebab
turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad saw adalah sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwasanya setelah terjadinya perang
Badar, Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar ra dan Umar bin
Khaththab ra untuk meminta pendapat mereka tentang para tawanan perang, Abu
Bakar ra berpendapat, mereka sebaiknya dikembalikan kepada keluargannya dan
keluargannya membayar tebusan. Namun, Umar ra berpendapat mereka sebaiknya
dibunuh. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Rasulullah kesulitan
dalam memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar (HR.
Kalabi).
F.
Tafsiran Ayat Al-Qur’an
a.
QS.Ali Imran :122
إِذْ هَمَّت طَّائِفَتَانِ مِنكُمْ أَن تَفْشَلَا وَٱللَّهُ وَلِيُّهُمَا وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُون
Tafsir
Al- Misbah
Ayat ini masih lanjutan uraian tentang apa yang
diperintahkan oleh ayat sebelumnya untuk direnungkan. Uraian ayat ini masih
berkisar pada peristiwa yang terjadi sebelum berkecamuknya perang. Hanya saja,
dalam ayat ini mitra bicara ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, berbeda
dengan ayat yang lalu yang hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. Ini karena
penekanan pada ayat ini lebih banyak menunjukkan aktivitas dan niat yang
menyertai sebagian pasukan kaum muslim yang akan terlibat dalam peperangan
tersebut. Ketika itu, ada dua golongan dari (pasukan) kamu, yaitu Bani Salamah
yang merupakan segolongan dari suku Khazraj dan Bani Haritsah dari suku Aus,
yang terbesik dalam pikirannya untuk menggagalkan niatnya berperang karena
takut mati setelah mengetahui bahwa sepertiga pasukan yang dipimpin oleh
petinggi orang munafik, Abdullah Bin
Ubay, telah meninggalkan medan perang, padahal Allah adalah penolong bagi dua
golongan itu, karena keduanya terdiri dari orang-orang yang beriman dan apa
yang terbetik dalam pikiran mereka itu sangat manusiawi sehingga Allah
mentoleransinya. Allah akan menolong siapa saja yang beriman,karena itu
hendaklah kepada Allah SWT saja orang-orang mukmin bertwakal, tidak kepada
selain-Nya, tidak juga kepada perlengkapan dan personil, apalagi kalau personil
itu terdiridari orang-orang munafik.
Penggalan terakhir ayat ini, menurut Al Biqa’I ,
lebih baik dipahami mengandung pesan sebagai berikut: Allah adalah penolong
bagi kudua golongan itu, karena mereka beriman dan berserah diri kepada-Nya,
dan bukannya kehendak mundur itu bersumber dari tekad mereka. Mereka bahkan
menjadikan Allah sebagai penolong dan berserah diri kepada-Nya, guna mengukuhkan
kamu dan menghindarkan kelemahan atasmu, karena itulah hendaklah semua kaum
mukminin percaya dan berserah diri kepada-Nya agar mereka semua pun memperoleh
pertolongan-Nya.
Agaknya makna inilah-yang merupakan pujian buat
mereka- yang menjadikan kedua golongan itu merasa berbahagia dengan turunnya
ayat ini, karena dengan tegas ayat ini menyatakan bahwa Allah swt Adalah
penolong mereka. Demikian diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
Ada juga ulama yang memahami firman-Nya: padahal
Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu, merupakan kecaman bagi kedua
golongan itu. Mereka dikecam karena bermaksud meninggalkan medan perang,
padahal seharusnya mereka tahu persis bahwa Allah akan membantu orang-orang
mukmin dan tentu saja membantu mereka juga kalau mereka benar-benar mukmin.[17]
b.
QS.Ali-Imran:
159-160
Kelemah lembutan adalah sifat Allah Swt yang sangat ingin kita
tanamkan. Ia merupakan sifat Nabi, sang pemimpin sempurna, yang ingin kita
teladani. Jika Nabi tidak memiliki sifat mulia ini,seandainya hatinya tidak
lemah lembut, manusia tidak akan berbondong-bondong masuk islam Al-Quran mengisyaratkan
bahwa keinginan memiliki sifat-sifat mulia mengakar kuat dalam setiap hati
manusia. Ketika orang beriman melihat sifat-sifat ini termanifestasi secara
jelas, maka ia akan mencarinya, sesuai dengan tingkat kekuatan atau kelemahan
imannya.
Kemudian Allah mengamanatkan nabi-Nya
dengan berfirman “maafkanlah mereka” kita dapat memaafkan kesalahan
orang terhadap orang lain, dan kita tidak dapat menebus perbuatan dosa orang
lain yang berkaitan dengan hak Allah. Karena kemulyaan fitrahnya kita dapat
memaafkan kesalahan orang.
Disinilah Rasulullah diberi pimpinan, bahwa
kalau hati telah bulat, azam telah padat, hendaklah ambil keputusan dan
bertawakal kepada Allah. Tidak boleh ragu,
tidak bleh bimbang dan hendaklah menanggung segala resiko. Serta lebih
menguatkan hati yang telah berazam itu hendaklah bertawakal kepada Allah.
Artinya, bahwa perhitungan kita sebagai manusia sudah cukup dan kita pun
percaya, bahwa diatas kekuatan dan ilmu manusia itu ada lagi kekuasaan
tertinggi lagi mutlak dari Tuhan.
QS. Ali ‘Imran
ayat 159
Prof Hamka
Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang
tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak
lekas marah kepada ummat-Nya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka
lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan
tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus
marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.[18]
Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap
yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh
Allah rahmat-Nya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan
Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap
beliau dalam memimpin
Meskipun
dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran – pelanggaran yang
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan
kaum muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan
tidak marah terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan
dari Allah untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad saw bersikap keras, berhati
kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.
QS.Ali Imran Ayat:160
Tafsir Al-Jalalain
(Jika Allah menolong kamu) terhadap musuhmu seperti di perang Badar
(maka tak ada orang yang akan mengalahkan kamu, sebaliknya jika Dia membiarkan
kamu) tanpa memberikan pertolongan seperti waktu perang Uhud (maka siapakah
lagi yang dapat menolongmu setelah itu) artinya setelah kekalahan itu,
maksudnya tak ada lagi. (Hanya kepada Allahlah) bukan kepada lain-Nya
(orang-orang beriman itu harus bertawakal). Ayat berikut ini diturunkan ketika
hilangnya sehelai permadani merah di waktu perang Uhud lalu sebagian orang
mengatakan barangkali Nabilah yang mengambilnya (Ali Imran:160).[19]
c.
QS. An-Nisa
Ayat:1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا رَبَّكُمُ
ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَٱتَّقُوا ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَاءَلُونَ
بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Surat An nisa adalah salah
satu diantara dua surat Al- Qur’an yang Allah mulai dengan satu seruan dan satu
perintah. Allah memulai keduanya dengan menyeru seluruh manusia. Kemudian
memerintahkan kepada mereka supaya bertaqwa kepada sang khaliq yang merupakan
satu-satunya sumber keutamaan dan tempat menerima nikmat penciptaan, nikamat
mendapatkan dan melaksanakan cara hidup yang utama, serta nikmat mendapatkan
balasan atas amal-amal baik dan buruk.
Dengan demikian, al-Qur’an memandang seluruh manusia dengan
berbagai kebangsaan, bahasa, dan daerah mereka sebagai satu keluarga.
Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Tidak ada kedhaliman,
kesemena-menaan, kelas-kelas, dan penindasan diantara mereka. Yang ada hanyalah
kecintaan, kasih sayang, keadilan dan persamaan. Ini adalah dasar yang telah
ditetapkan oleh al-Qur’an di dalam ayat-ayatnya. Dengan dasar ini, al-Qur’an
menyeru umat manusia agar saling ikhlas antara mereka, saling menolong, saling
mengingatkan supaya berbuat kebenaran dan saling mengingatkan supaya berbuat
sabar.
Para penganut kebudayaan bebas,untuk beberapa saat hendaknya
melucuti diri mereka dari belenggu pengingkaran dan fanatisme,guna memahami
hakikat factual yang telah di tetapkan oleh wahyu illahi. Mereka dapat kembali
menemukan petunjuk dan memulihkan kesegaran diri mereka dari payahnya
kuburasialisme, sukuisme, dan fanatic agama. Semuanya dipersiapkan untuk
mengisi rumah pembantaian manusia, tempat mereka menyirami bumi dengan darah-darah
kaum kerabat dan saudara-saudara seumat semanusia yang dimuliakan dan
dilebihkan oleh Allah atas kebanyakan makhluk-Nya. [20]
Surat
ini menetapkan adanya persamaan antara kaum wanita dengan kaum laki-laki dalam
hal-hal yang termasuk dalam kekhusuan umat manusia. Kaum wanita di syariatkan
untuk mendapatkan mata pencaharian sebagai mana halnya dengan kaum laki-laki.
Keduanya dibimbing kepada pencarian karunia dan kebaikan yang berupa harta,
dengan jalan beramal dan tanpa merasa iri hati. Laki-laki tidak diperbolehkan
merampas pekerjaan wanita yang telah diciptakan untuknya. Begitupun wanita,
tidak diperbolehkan tamak terhadap apa-apa yang berada diluar keahlian
kodratinya.[21]
Disamping
itu Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi
dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan
putusan – putusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan
mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah
dengan tekad yang bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi.
Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela
kaum muslimin selain Allah.
Adapun
kandungan dari QS. Ali ‘Imran ayat 159 adalah sebagai berikut:
Pertama: Para ulama berkata, “Allah SWT memerintahkan
kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya,
Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan
mereka terhadap beliau. Setelah mereka mendapat maaf, Allah SWT memerintahkan
beliau utnuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah SWT. Setelah
mereka mendapat hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam
segala perkara”.
Kedua: Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk
salah satu kaidah syariat dan penetapan hokum-hukum. Barangsiapa yang tidak
bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan (jika dia seorang
pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang
yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firman Nya “sedang urusan
mereka (diputuskan dengan musyawarat antara mereka”
Ketiga: Firman Allah SWT: “Dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu”. Menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua
perkara dan menentukan perkiraan bersama yang didasari dengan wahyu. Sebab,
Allah SWT mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya. Para ulama berbeda
pendapat tentang makna perintah Allah SWT kepada Nabi-Nya ntuk bermusyawarah
dengan para sahabat beliau.
Sekelompok
ulama berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal taktik perang dan
ketika berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan
derajat mereka dan menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah
SWT telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka”.
Kelompok
lain berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal yang tidak ada
wahyu tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Al Basri dan Dhahak.
Mereka berkata, “Allah SWT tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk
bermusyawarah karena Dia membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin
memberitahukan keutamaan yang ada di dalam musyawarah kepada mereka dan agar
umat beliau dapat menauladaninya.
Keempat: Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu
Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Orang yang
diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya”. Para ulama berkata,
“Kriteria orang yang layak untuk diajak musyawarah dalam masalah hokum adalah
memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama. Dan criteria ini jarang sekali ada
kecuali pada orang yang berakal”. Hasan berkata, “Tidaklah sempurna agama
seseorang selama akalnya belum sempurna”.
Maka
apabila orang yang memenuhi kriteria di atas diajak untuk bermusyawarah
dan dia bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang
disampaikannya keliru maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang
dikatakan oleh Al Khaththabi dan lainnya.
Kelima:keriteriaorang yang
diajak bermusyawarah dalam masalah kehidupan di masyarakat
adalah memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah.
Sebagian orang berkata, “Bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki
pengalaman, sebab dia akan memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan
pengalaman berharga yang pernah dialaminya dan kamu mendapatnya dengan cara
gratis”.
Keenam: Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat.
Maka, orang yang bermusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan
memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan sunnah, jika
memungkinkan. Apabila Allah SWT telah menunjukkan kepada sesuatu yang Dia
kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan tekad untuk
melaksanakannya sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang
dikehendaki. Dengan ini pula Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat
ini.
Ketujuh: Firman Allah SWT “Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”. Qatadah
berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan
tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah
SWT, bukan tawakal kepada musyawarah mereka.
Kedelapan: Firman Allah
SWT“Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”. Tawakal artinya berpegang
teguh kepada Allah SWT sembari menampakkan kelemahan. Para ulama berbeda
pendapat tentang Tawakal. Suatu kelompok sufi berkata, “Tidak akan dapat
melakukannya kecuali orang yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada
Allah, baik takut kepada bintang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan
usaha mencari rezeki karena yakin dengan jaminan Allah SWT.
KESIMPULAN
Tawakal adalah meyerahkan urusan kepada yang berkuasa menanganinya
dengan kepercayaan yang utuh,maksudnya ialah menyerahkan seluruh perkara kepada
Allah, bersandar kepada kekuasaan-Nya dalam mengatur siklus alam
semesta,mendahulukan perbuatan-Nya ketimbang perbuatan kita, dan mengutamakan
kehendak-Nya di atas kehendak kita.
Adapun
Ayat-Ayat yang membahas Tentang Perintah Tawakal yakni QS. Ali-Imran [3]:122,QS. 'Ali `Imran [3] : 159, QS. Ali-Imran [3]:160, QS.
An-Nisa'[4]:1, QS. An-Nisa' [4] : 81 , QS. An-Naml [27] : 79 , QS.
Al-Ma'idah[5]:11, QS.Ash-Shu`ara'[26]:217. Adapun kandungan surat dari:
Surat
Ali Imran: 122
1.
Allah
Swt mengingatkan kaum muslimin tentang peristiwa perang uhud agar mereka selalu
waspada terhadap kaum Yahudi, menafikin dan musrikin, dan selalu bersifat sabar
dan takwa kepada Allah dalam menghadapi masa depan
2.
Pada
perang Uhud Nabi Muhammad telah mengatur siasat perang dengan sebaik-baiknya
dan menempatkan pasukannya pada tempat yang strategis.
Surat
Ali Imran:159-160
1.
Allah
memuji akhlaka Nabi Muhammad, dan sifat-sifatnya yangs selalu bersikap
lemah-lembut dan tidak bersikap keras terhadap para pengikutnya serta memaafkan
dan memintakan ampun bagi mereka atas kesalahan-kesalahan mereka
2.
Allah
memerintahkan Nabi Muhammad agar bermusyawarah dalam segala urusan, didalam
melaksanakan hasil musyawarah, agar bertawakal kepada Allah
3.
Apabila
seseorang akan memperoleh pertolongan Allah, maka tidak ada seorangpun yang
dapat menghalangi.begitu pula sebaliknya, siapa yang mendapat kemurkaan Allah
tidak seorangpun dapat membelanya.
Surat
An-Nisa:1
1.
Manusia
wajib bertakwa kepada Allah dan wajib memelihara hubungan silaturrohim
2.
Manusia
pertama yang dijadikan Allah adalah Adam
3.
Asal
keturunan manusia adalah dari Adam dan Hawa
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:
AMZAH. 2006.
Fathullah, Ahmad Lutfi. Al-Qur’an
Al-Hadi. Jakarta: Pusat Kajian Hadis. 2008.
Gulen, Muhammad
Fethullah. Tasawuf Untuk Kita Semua : Menepaki Bukit-Bukit Zamrut Kalbu
Melalui Istilah-Istilah Dalam Sufisme. Jakarta:Republika Penerbit,2014.
Hamka. Tafsir
Al-Azhar Juzu III.Jakarta:PT.Citra Serumpun Padi,1983.
Hs, Fachruddin.
Ensklopedia Al-Qur-An Buku 2. Jakarta:PT RINEKA CIPTA, 1992.
Ihyaulumuddin
IV.
Islam,Khasanah.
Klasik, Terapi Tawakal Oleh 10 Ulama Klasik Psikologi. Ahsan Books,2011.
Shihab,Quraish.
Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an Vol.2. Penerbit
Lentera Hati, 2000.
Solihin. Tasawuf
Tematik: Membedah Tema-Tema Penting Tasawuf . Bandung: PUSTAKA
SETIA,. 2003.
Syaltut,Mahmud.
Tafsir Al-Qur’an Karim Pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi Al-Quran 2. Bandung: CV.DIPONEGORO,1990.
[1] Ahsin W.
Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: AMZAH,2006)Hlm. 293-294
[2]
Ahsin W.
Al-Hafidz, Kamus Ilmu.,294
[3] Khasanah Islam, Klasik, Terapi
Tawakal Oleh 10 Ulama Klasik Psikologi (Ahsan Books,2011), 15.
[4] Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf
Untuk Kita Semua : Menepaki Bukit-Bukit Zamrut Kalbu Melalui Istilah-Istilah
Dalam Sufisme (Jakarta:Republika Penerbit,2014), 135.
[5]
Fachruddin Hs, Ensklopedia
Al-Qur-An Buku 2(Jakarta:PT RINEKA CIPTA, 1992), 478
[6] Ihyaulumuddi IV.258-259
[7] Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-Tema
Penting Tasawuf (Bandung: PUSTAKA
SETIA, 2003)Hlm. 22
[8]
Khasanah Islam, Klasik,
Terapi Tawakat.,21.
[9] Ahmad Lutfi
Fathullah, Al-Qur’an Al-Hadi (Jakarta: Pusat Kajian Hadis, 2008)
[10]
Ahmad Lutfi
Fathullah, Al-Qur’an Al-Hadi.,
[11] Ibid
[16] Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid
II (Jakarta: Penerbit Lentera Abadi, 2010), 34-35
[17] Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an Vol.2 (Penerbit Lentera
Hati, 2000), 190-191
[18] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu
III (Jakarta:PT. Citra Serumpun Padi,1983), 129.
[19] Fathullah, Ahmad Lutfi. Al-Qur’an Al-Hadi
[20]
Mahmud Syaltut, Tafsir
Al-Qur’an Karim Pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi Al-Quran 2 ( Bandung:
CV.DIPONEGORO,1990).332
[21] Mahmud Syaltut, Tafsir
Al-Qur’an Karim., 335.
0 komentar:
Posting Komentar